Dr. Attabiq Luthfi, MA
MEMAKNAI RAMADHAN DALAM KONTEKS DAKWAH
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian semua bertaqwa kepadaNya“. (Al-Baqarah: 183) Ayat-ayat tentang puasa (Ayatush Shiyam) yang tersusun secara berurutan dalam satu surah, yaitu surah Al-Baqarah dari ayat 183-187 seringkali difahami hanya dalam konteks peningkatan amaliah ibadah mahdhah. Padahal secara korelatif, ayatush shiyam selain dari sarat dengan ta’limat ilahiyyah dan taujihat rabbaniyah tentang peningkatan ruhiyah dengan penguatan amaliah ibadah, juga sarat dengan nilai-nilai dakwah dan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Betapa Ramadhan sangat tepat dijadikan munthalaq dakwah untuk lebih mengintensifkan kembali geliat dan gairah dakwah sehingga makna yang mewarnai kehidupan Ramadhan adalah makna-makna dakwah.
Korelasi ayatush shiyam dengan dakwah
Secara korelatif, ayat-ayat yang mendampingi ayatush shiyam, baik ayat-ayat sebelumnya maupun sesudahnya ternyata berbicara tentang dakwah dalam konteks fiqhul mu’amalah dan hokum hudud. Pendampingan dalam penyusunan seperti ini tentu mustahil tanpa hikmah dan pelajaran yang bisa digali darinya. Ayat 178-182 dari surah Al-Baqarah sebelum ayat puasa ternyata berbicara tentang hokum qishash yang merupakan bagian dari target dan realisasi dakwah, yaitu tegaknya hokum-hukum syariat. Redaksi yang digunakan juga mirip dengan redaksi yang digunakan dalam konteks perintah puasa, “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu (menerapkan) qishash dalam hal pembunuhan”.
Ayat 188 setelah ayat puasa juga berbicara tentang hokum mu’amalah dalam konteks jual beli dan perdagangan, “Janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang bathil”. Padahal mu’amalah yang dijalankan dengan baik dan benar merupakan satu lagi sasaran dakwah yang harus ditegakkan sehingga akan terjamin kehormatan diri, harta dan masyarakat secara keseluruhan.
Lebih ketara lagi pada ayat 190 dan seterusnya yang berbicara tentang perintah perang yang merupakan bagian dakwah yang terbesar dan terberat, “Perangilah oleh kalian di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian”. Keterkaitan dan korelasi tematis ini menjadi landasan akan pemaknaan bulan Ramadhan dengan makna dakwah disamping makna-makna ibadah dan ukhuwwah.
Ta’amul da’awi di bulan dakwah
Target dari pelaksanaan ibadah puasa yang telah ditetapkan oleh Allah dengan ungkapan pengharapan “la’allakum tattaqun” merupakan jaminan akan peningkatan kebaikan seseorang yang berpuasa dengan benar. Takwa yang diharapkan dari pengalaman menjalani hidup dan kehidupan di bulan Ramadhan bisa dijabarkan sebagai bentuk pembiasaan untuk melakukan amal-amal kebaikan dan pembiasaan untuk meninggalkan amal-amal keburukan. Hasan bin Thalq menyebutkan definisi ini seperti yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Takwa yang ditargetkan ternyata sangat terkait dengan bentuk ta’amul dengan Ramadhan.
Ada beberapa bentuk ta’amul (interaksi) yang bisa diaktifkan selama mengikuti amaliah Ramadhan. Namun salah satu bentuk ta’amul yang seharusnya diperhatikan oleh para da’I adalah ta’amul da’awi selain dari ta’amul ta’abbudi yang menjadi target amaliah kebanyakan orang di bulan Ramadhan. Betapa sejarah Ramadhan masa lalu sarat dengan kegiatan dan aktivitas dakwah. Bahkan kegiatan dakwah terbesar dan terberat justru terjadi di bulan Ramadhan.
Perang Badar yang merupakan perang perdana untuk menunjukkan eksistensi dakwah Islam justru terjadi di bulan puasa. (lihat surah Al-Anfal: 41). Padahal pada saat itu, Rasulullah dan para sahabat hanya mempersiapkan perlengkapan untuk menghadang kafilah dagang Abu Sufyan. Bukan untuk menghadapi pasukan Quraisy yang bersenjata lengkap. Namun jalan dakwah yang sudah diyakininya tidak mengenal kamus “mundur kembali ke garis start”. Justru dengan modal keyakinan akan janji Allah dan pembuktian akan satu komitmen yang totalitas terhadap dakwah Islam, beliau maju menghadapi berbagai rintangan, tribulasi dan setiap ujian yang menghadang di jalur dakwah. Saat pertempuran semakin sengit, Rasulullah bermunajat, “Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, tentu Engkau tidak akan disembah lagi ya Allah, kecuali jika memang Engkau menghendaki agar Engkau tidak disembah selamanya setelah hari ini”.
Pembukaan atau Fathu Makkah yang merupakan perjalanan dakwah terakhir Rasulullah juga terjadi dan memilih Ramadhan sebagai bulan kemenangan dakwah yang gilang gemilang. Ternyata Ramadhan merupakan pilihan yang tepat dan terbaik untuk meraih kemenangan dakwah.
Menjelang Ramadhan tiba, Rasulullah selaku pemimpin para da’i, menyampaikan satu pidato kenegaraan yang bernuansa dakwah, mengajak seluruh umat memanfaatkan bulan Ramadhan sebaik-baiknya, meraih sebanyak-banyaknya keberkahan bulan ini. Berkah dalam arti katsratul khair wal manafi’ banyak kebaikan dan manfaat yang bisa diraih darinya. Dan nantinya, kebaikan dan manfaat itu akan bertambah jika disampaikan kepada orang lain dalam bentuk dakwah yang berkesinambungan. Inilah esensi dakwah yang harus dirasakan selama mengikuti aktivitas Ramadhan.
Ada beberapa target dakwah yang layak untuk dipersiapkan oleh para kader sebagai bekal menghadapi ujian dakwah pasca Ramadhan, diantaranya:
Target menghargai waktu
Ibnul Qayyim rahimahuLlah menegaskan substansi dan nilai waktu dalam kehidupan manusia, “Sebenarnya waktu yang dimiliki oleh manusia adalah umurnya sendiri yang terus berjalan perlahan seperti gerakan awan. Setiap waktu yang digunakan untuk Allah, itulah kehidupan dan umurnya. Sementara itu, waktu yang digunakan selain dengan tujuan tersebut tidak dianggap sebagai waktu (yang berarti) bagi hidupnya. Jika dia terus hidup, maka hidupnya sama dengan kehidupan binatang. Jika dia menghabiskan waktu dalam keadaan lalai, lupa diri, dan membangun harapan-harapan bathil, maka waktu terbaik yang dilaluinya adalah ketika tidur dan menganggur. Maka orang tersebut lebih baik mati daripada terus bertahan hidup”. (Al-Jawab Al-Kafi)
Ungkapan Ibnul Qayyim sangat tepat untuk diperhatikan dalam konteks Ramadhan. Betapa banyak waktu yang terkadang terbiar tanpa aktivitas di bulan ini. Padahal keutamaan yang disediakan oleh Ramadhan memiliki motivasi tersendiri untuk memenuhi waktu demi waktu di bulan ini dengan amal sholeh.
Ibnu Mas’ud radiyaLlahu anhu mengingatkan kepada kita akan penyesalan waktu yang tidak bermanfaat, “Aku tidak pernah menyesali sesuatu seberat penyesalanku terhadap satu hari dimana matahari sudah tenggelam dan umurku berkurang, namun amal kebaikanku tidak bertambah”.
Dalam konteks dakwah, waktu adalah harta yang paling berharga bagi seorang da’i, karena waktu adalah modal utamanya. Aktivitas dakwah mustahil bisa mencapai tujuan dan merealisasikan sasarannya, kecuali jika ia bisa menggunakan dan mengoptimalkan waktunya dengan sungguh-sungguh. Ramadhan mengajar banyak kepada para da’I akan penting dan berartinya waktu. Bahkan ada waktu yang lebih baik dan lebih besar nilainya dari seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan itu hanya Allah sediakan di bulan Ramadhan.
Target keteladanan
Berdakwah dalam arti menyeru manusia kepada kebaikan, jika disertai dengan penyimpangan perilaku para da’inya merupakan penyakit yang akan menimbulkan kebimbangan dalam diri. Bukan hanya pada diri seorang da’I tetapi berakibat juga terhadap dakwah. Dalam konteks dakwah saat ini, masyarakat sangat menanti dan mendambakan lahirnya teladan yang membuat mereka yakin akan seluruh ajaran Islam. Jika tidak, mereka tidak lagi percaya kepada agama ini setelah terlebih dahulu kehilangan kepercayaan kepada pada da’I ang menyebarkannya.
(Muhd. Abduh, Madza Ya’ni Intima’i liddakwah).
Keteladan seorang da’i merupakan pilar utama kesuksesan dakwah. Keteladan Rasulullah saw yang diungkapkan oleh Aisyah ra “akhlaknya adalah Al-Qura’n” merupakan kunci utama kesuksesan dan penerimaan dakwah beliau. Maka Ramadhan merupakan momen penting untuk membangun keteladanan; keteladanan dalam bersikap, bertingkah laku, keteladanan dalam kesabaran, keteladanan dalam beramal dan keteladanan dalam membangun persaudaraan diantara sesame muslim untuk dijadikan sarana dakwah. Semua keteladanan itu ternyata merupakan petunjuk praktis dan aturan main amaliah Ramadhan.
Target wirid harian
Satu ayat yang disisipkan di tengah-tengah ayatush shiyam adalah ayat 186 yang berbicara tentang do’a dan dzikir, “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka katakanlah Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permintaan hambaKu jika ia memohon kepadaKu”. Penyisipan ayat ini mengisyaratkan bahwa amaliah Ramadhan hendaklah senantiasa diiringi dengan doa memohon pertolongan dan kekuatan dariNya, apalagi dalam konteks dakwah, sangat tepat jika wirid dan doa ini senantias menghiasi kehidupan para da’i.
Wirid merupakan sarana membersihkan diri dan beribadah kepada Allah sekaligus sebagai bekal selama menempuh perjalanan dakwah. Ada tiga bentuk wirid yang sangat baik untuk diperbanyak di bulan Ramadhan sebagai sentuhan energi dan kekuatan dalam berdakwah; wirid do’a seperti istighfar, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, tilawah Qur’an dan wirid kalimah thoyyibah lainnya. Wirid robithah untuk memperkuat hubungan bathin diantara sesame da’I sebagai bentuk do’a an dzharil ghayb yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Wirid muhasabah dalam bentuk mengingat dan mengevaluasi seluruh aktivitas dakwah yang dilakukan pada hari itu. Jika ada kebaikan, segeralah mensyukurinya dan jika ada kekurangan dan kekhilafan, segeralah untuk memohon ampunan dan memanjatkan doa kepada Allah, lalu bertobat untuk memperbaiki gerak dakwah di masa yang akan datang.
Wirid-wirid harian ini terasa akan lebih efektif jika dilaksanakan saat menjelang malam hari berbarengan dengan aktivitas qiyamul lail. Kekuatan doa dan wirid akan memperkuat langkah dan azam dakwah “Doa adalah senjata orang yang beriman”. Dan bulan Ramadhan adalah syahrul maghfirah waddu’a.
Target-target da’awi di bulan Ramadhan
Syekh Musthafa Masyhur menekankan akan pentingnya tarbiyah dalam konteks dakwah, “Salah satu prinsip mendasar yang sangat ditekankan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna dan harus kita jaga adalah memberi perhatian terhadap masalah tarbiyah dan aspek ritual. Kedua hal ini ibarat ruh yang ada pada tubuh manusia, baik dalam skala individu maupun dalam skala jama’ah. Imam Hasan Al-Banna rahimahuLlah yakin bahwa seorang muslim yang berpegang teguh dengan sifat-sifat orang yang beriman adalah fondasi utama harakah, pembinaan dan usaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan dakwah. Dialah yang membangun keluarga muslim, masyarakat muslim dan Negara muslim. Ketika unsur ini kokoh, maka proses pembangunan akan berjalan setahap demi setahap dengan kokoh dan baik, begitupula sebaliknya”. (Fiqhud Da’wah).
Ramadhan yang dikenal juga dengan syahrul ibadah merupakan bulan untuk memperkuat hubungan dengan Wali dan Pelindung para da’i. karena seorang da’i sejati adalah seorang abid (seorang yang taat beribadah) kepada Allah, taat kepada ajaranNya dan tunduk kepada kebesaranNya. Kekurangan dalam melakukan ibadah, terutama ibadah fardhu akan menghempaskan aktivis dakwah. Bahkan dia akan kehilangan keteladan dalam berdakwah.
Dalam skala keluarga, pembiasaan bangun malam bersama seluruh anggota keluarga di bulan Ramadhan harus menjadi agenda harian yang berkesinambungan pasca Ramadhan sebagai bagian dari komitmen dakwah kita. Kajian-kajian keislaman yang semakin marak merupakan momen yang tidak boleh terlupakan untuk mengisi dengan muatan-muatan dakwah disamping muatan-muatan ruhiyah.
Momen silaturahim yang banyak berlangsung di awal maupun di akhir Ramadhan yang diakhiri dengan momen idul fithri merupakan fenomena yang bisa ditangkap makna dakwah di dalamnya jika kita mampu mengintensifkan nilai-nilai dakwah di dalamnya, selain dari rutinitas yang bisa dijalankan.
Kekerapan seseorang berada di masjid-masjid dan tempat-tempat kebaikan merupakan nilai positif dakwah yang harus ditangkap untuk perluasan dan medan tadrib da’awi. Semuanya merupakan indikasi bahwa Ramadhan memang bulan yang dijadikan oleh Allah sebagai munthalaq dakwah untuk kembali memaknai kehidupan dakwah kita, mengevaluasi dan mengefektifkan kembali sayap-sayap dakwah sehingga geliat dan bahana dakwah akan lebih terasa intensivitasnya pasca Ramadhan. Semoga makna-makna dakwah Ramadhan lebih banyak ditangkap oleh para aktivis dakwah di jalan Allah.
Sumber: dakwatuna.com
MEMAKNAI RAMADHAN DALAM KONTEKS DAKWAH
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian semua bertaqwa kepadaNya“. (Al-Baqarah: 183) Ayat-ayat tentang puasa (Ayatush Shiyam) yang tersusun secara berurutan dalam satu surah, yaitu surah Al-Baqarah dari ayat 183-187 seringkali difahami hanya dalam konteks peningkatan amaliah ibadah mahdhah. Padahal secara korelatif, ayatush shiyam selain dari sarat dengan ta’limat ilahiyyah dan taujihat rabbaniyah tentang peningkatan ruhiyah dengan penguatan amaliah ibadah, juga sarat dengan nilai-nilai dakwah dan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Betapa Ramadhan sangat tepat dijadikan munthalaq dakwah untuk lebih mengintensifkan kembali geliat dan gairah dakwah sehingga makna yang mewarnai kehidupan Ramadhan adalah makna-makna dakwah.
Korelasi ayatush shiyam dengan dakwah
Secara korelatif, ayat-ayat yang mendampingi ayatush shiyam, baik ayat-ayat sebelumnya maupun sesudahnya ternyata berbicara tentang dakwah dalam konteks fiqhul mu’amalah dan hokum hudud. Pendampingan dalam penyusunan seperti ini tentu mustahil tanpa hikmah dan pelajaran yang bisa digali darinya. Ayat 178-182 dari surah Al-Baqarah sebelum ayat puasa ternyata berbicara tentang hokum qishash yang merupakan bagian dari target dan realisasi dakwah, yaitu tegaknya hokum-hukum syariat. Redaksi yang digunakan juga mirip dengan redaksi yang digunakan dalam konteks perintah puasa, “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu (menerapkan) qishash dalam hal pembunuhan”.
Ayat 188 setelah ayat puasa juga berbicara tentang hokum mu’amalah dalam konteks jual beli dan perdagangan, “Janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang bathil”. Padahal mu’amalah yang dijalankan dengan baik dan benar merupakan satu lagi sasaran dakwah yang harus ditegakkan sehingga akan terjamin kehormatan diri, harta dan masyarakat secara keseluruhan.
Lebih ketara lagi pada ayat 190 dan seterusnya yang berbicara tentang perintah perang yang merupakan bagian dakwah yang terbesar dan terberat, “Perangilah oleh kalian di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian”. Keterkaitan dan korelasi tematis ini menjadi landasan akan pemaknaan bulan Ramadhan dengan makna dakwah disamping makna-makna ibadah dan ukhuwwah.
Ta’amul da’awi di bulan dakwah
Target dari pelaksanaan ibadah puasa yang telah ditetapkan oleh Allah dengan ungkapan pengharapan “la’allakum tattaqun” merupakan jaminan akan peningkatan kebaikan seseorang yang berpuasa dengan benar. Takwa yang diharapkan dari pengalaman menjalani hidup dan kehidupan di bulan Ramadhan bisa dijabarkan sebagai bentuk pembiasaan untuk melakukan amal-amal kebaikan dan pembiasaan untuk meninggalkan amal-amal keburukan. Hasan bin Thalq menyebutkan definisi ini seperti yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Takwa yang ditargetkan ternyata sangat terkait dengan bentuk ta’amul dengan Ramadhan.
Ada beberapa bentuk ta’amul (interaksi) yang bisa diaktifkan selama mengikuti amaliah Ramadhan. Namun salah satu bentuk ta’amul yang seharusnya diperhatikan oleh para da’I adalah ta’amul da’awi selain dari ta’amul ta’abbudi yang menjadi target amaliah kebanyakan orang di bulan Ramadhan. Betapa sejarah Ramadhan masa lalu sarat dengan kegiatan dan aktivitas dakwah. Bahkan kegiatan dakwah terbesar dan terberat justru terjadi di bulan Ramadhan.
Perang Badar yang merupakan perang perdana untuk menunjukkan eksistensi dakwah Islam justru terjadi di bulan puasa. (lihat surah Al-Anfal: 41). Padahal pada saat itu, Rasulullah dan para sahabat hanya mempersiapkan perlengkapan untuk menghadang kafilah dagang Abu Sufyan. Bukan untuk menghadapi pasukan Quraisy yang bersenjata lengkap. Namun jalan dakwah yang sudah diyakininya tidak mengenal kamus “mundur kembali ke garis start”. Justru dengan modal keyakinan akan janji Allah dan pembuktian akan satu komitmen yang totalitas terhadap dakwah Islam, beliau maju menghadapi berbagai rintangan, tribulasi dan setiap ujian yang menghadang di jalur dakwah. Saat pertempuran semakin sengit, Rasulullah bermunajat, “Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, tentu Engkau tidak akan disembah lagi ya Allah, kecuali jika memang Engkau menghendaki agar Engkau tidak disembah selamanya setelah hari ini”.
Pembukaan atau Fathu Makkah yang merupakan perjalanan dakwah terakhir Rasulullah juga terjadi dan memilih Ramadhan sebagai bulan kemenangan dakwah yang gilang gemilang. Ternyata Ramadhan merupakan pilihan yang tepat dan terbaik untuk meraih kemenangan dakwah.
Menjelang Ramadhan tiba, Rasulullah selaku pemimpin para da’i, menyampaikan satu pidato kenegaraan yang bernuansa dakwah, mengajak seluruh umat memanfaatkan bulan Ramadhan sebaik-baiknya, meraih sebanyak-banyaknya keberkahan bulan ini. Berkah dalam arti katsratul khair wal manafi’ banyak kebaikan dan manfaat yang bisa diraih darinya. Dan nantinya, kebaikan dan manfaat itu akan bertambah jika disampaikan kepada orang lain dalam bentuk dakwah yang berkesinambungan. Inilah esensi dakwah yang harus dirasakan selama mengikuti aktivitas Ramadhan.
Ada beberapa target dakwah yang layak untuk dipersiapkan oleh para kader sebagai bekal menghadapi ujian dakwah pasca Ramadhan, diantaranya:
Target menghargai waktu
Ibnul Qayyim rahimahuLlah menegaskan substansi dan nilai waktu dalam kehidupan manusia, “Sebenarnya waktu yang dimiliki oleh manusia adalah umurnya sendiri yang terus berjalan perlahan seperti gerakan awan. Setiap waktu yang digunakan untuk Allah, itulah kehidupan dan umurnya. Sementara itu, waktu yang digunakan selain dengan tujuan tersebut tidak dianggap sebagai waktu (yang berarti) bagi hidupnya. Jika dia terus hidup, maka hidupnya sama dengan kehidupan binatang. Jika dia menghabiskan waktu dalam keadaan lalai, lupa diri, dan membangun harapan-harapan bathil, maka waktu terbaik yang dilaluinya adalah ketika tidur dan menganggur. Maka orang tersebut lebih baik mati daripada terus bertahan hidup”. (Al-Jawab Al-Kafi)
Ungkapan Ibnul Qayyim sangat tepat untuk diperhatikan dalam konteks Ramadhan. Betapa banyak waktu yang terkadang terbiar tanpa aktivitas di bulan ini. Padahal keutamaan yang disediakan oleh Ramadhan memiliki motivasi tersendiri untuk memenuhi waktu demi waktu di bulan ini dengan amal sholeh.
Ibnu Mas’ud radiyaLlahu anhu mengingatkan kepada kita akan penyesalan waktu yang tidak bermanfaat, “Aku tidak pernah menyesali sesuatu seberat penyesalanku terhadap satu hari dimana matahari sudah tenggelam dan umurku berkurang, namun amal kebaikanku tidak bertambah”.
Dalam konteks dakwah, waktu adalah harta yang paling berharga bagi seorang da’i, karena waktu adalah modal utamanya. Aktivitas dakwah mustahil bisa mencapai tujuan dan merealisasikan sasarannya, kecuali jika ia bisa menggunakan dan mengoptimalkan waktunya dengan sungguh-sungguh. Ramadhan mengajar banyak kepada para da’I akan penting dan berartinya waktu. Bahkan ada waktu yang lebih baik dan lebih besar nilainya dari seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan itu hanya Allah sediakan di bulan Ramadhan.
Target keteladanan
Berdakwah dalam arti menyeru manusia kepada kebaikan, jika disertai dengan penyimpangan perilaku para da’inya merupakan penyakit yang akan menimbulkan kebimbangan dalam diri. Bukan hanya pada diri seorang da’I tetapi berakibat juga terhadap dakwah. Dalam konteks dakwah saat ini, masyarakat sangat menanti dan mendambakan lahirnya teladan yang membuat mereka yakin akan seluruh ajaran Islam. Jika tidak, mereka tidak lagi percaya kepada agama ini setelah terlebih dahulu kehilangan kepercayaan kepada pada da’I ang menyebarkannya.
(Muhd. Abduh, Madza Ya’ni Intima’i liddakwah).
Keteladan seorang da’i merupakan pilar utama kesuksesan dakwah. Keteladan Rasulullah saw yang diungkapkan oleh Aisyah ra “akhlaknya adalah Al-Qura’n” merupakan kunci utama kesuksesan dan penerimaan dakwah beliau. Maka Ramadhan merupakan momen penting untuk membangun keteladanan; keteladanan dalam bersikap, bertingkah laku, keteladanan dalam kesabaran, keteladanan dalam beramal dan keteladanan dalam membangun persaudaraan diantara sesame muslim untuk dijadikan sarana dakwah. Semua keteladanan itu ternyata merupakan petunjuk praktis dan aturan main amaliah Ramadhan.
Target wirid harian
Satu ayat yang disisipkan di tengah-tengah ayatush shiyam adalah ayat 186 yang berbicara tentang do’a dan dzikir, “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka katakanlah Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permintaan hambaKu jika ia memohon kepadaKu”. Penyisipan ayat ini mengisyaratkan bahwa amaliah Ramadhan hendaklah senantiasa diiringi dengan doa memohon pertolongan dan kekuatan dariNya, apalagi dalam konteks dakwah, sangat tepat jika wirid dan doa ini senantias menghiasi kehidupan para da’i.
Wirid merupakan sarana membersihkan diri dan beribadah kepada Allah sekaligus sebagai bekal selama menempuh perjalanan dakwah. Ada tiga bentuk wirid yang sangat baik untuk diperbanyak di bulan Ramadhan sebagai sentuhan energi dan kekuatan dalam berdakwah; wirid do’a seperti istighfar, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, tilawah Qur’an dan wirid kalimah thoyyibah lainnya. Wirid robithah untuk memperkuat hubungan bathin diantara sesame da’I sebagai bentuk do’a an dzharil ghayb yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Wirid muhasabah dalam bentuk mengingat dan mengevaluasi seluruh aktivitas dakwah yang dilakukan pada hari itu. Jika ada kebaikan, segeralah mensyukurinya dan jika ada kekurangan dan kekhilafan, segeralah untuk memohon ampunan dan memanjatkan doa kepada Allah, lalu bertobat untuk memperbaiki gerak dakwah di masa yang akan datang.
Wirid-wirid harian ini terasa akan lebih efektif jika dilaksanakan saat menjelang malam hari berbarengan dengan aktivitas qiyamul lail. Kekuatan doa dan wirid akan memperkuat langkah dan azam dakwah “Doa adalah senjata orang yang beriman”. Dan bulan Ramadhan adalah syahrul maghfirah waddu’a.
Target-target da’awi di bulan Ramadhan
Syekh Musthafa Masyhur menekankan akan pentingnya tarbiyah dalam konteks dakwah, “Salah satu prinsip mendasar yang sangat ditekankan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna dan harus kita jaga adalah memberi perhatian terhadap masalah tarbiyah dan aspek ritual. Kedua hal ini ibarat ruh yang ada pada tubuh manusia, baik dalam skala individu maupun dalam skala jama’ah. Imam Hasan Al-Banna rahimahuLlah yakin bahwa seorang muslim yang berpegang teguh dengan sifat-sifat orang yang beriman adalah fondasi utama harakah, pembinaan dan usaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan dakwah. Dialah yang membangun keluarga muslim, masyarakat muslim dan Negara muslim. Ketika unsur ini kokoh, maka proses pembangunan akan berjalan setahap demi setahap dengan kokoh dan baik, begitupula sebaliknya”. (Fiqhud Da’wah).
Ramadhan yang dikenal juga dengan syahrul ibadah merupakan bulan untuk memperkuat hubungan dengan Wali dan Pelindung para da’i. karena seorang da’i sejati adalah seorang abid (seorang yang taat beribadah) kepada Allah, taat kepada ajaranNya dan tunduk kepada kebesaranNya. Kekurangan dalam melakukan ibadah, terutama ibadah fardhu akan menghempaskan aktivis dakwah. Bahkan dia akan kehilangan keteladan dalam berdakwah.
Dalam skala keluarga, pembiasaan bangun malam bersama seluruh anggota keluarga di bulan Ramadhan harus menjadi agenda harian yang berkesinambungan pasca Ramadhan sebagai bagian dari komitmen dakwah kita. Kajian-kajian keislaman yang semakin marak merupakan momen yang tidak boleh terlupakan untuk mengisi dengan muatan-muatan dakwah disamping muatan-muatan ruhiyah.
Momen silaturahim yang banyak berlangsung di awal maupun di akhir Ramadhan yang diakhiri dengan momen idul fithri merupakan fenomena yang bisa ditangkap makna dakwah di dalamnya jika kita mampu mengintensifkan nilai-nilai dakwah di dalamnya, selain dari rutinitas yang bisa dijalankan.
Kekerapan seseorang berada di masjid-masjid dan tempat-tempat kebaikan merupakan nilai positif dakwah yang harus ditangkap untuk perluasan dan medan tadrib da’awi. Semuanya merupakan indikasi bahwa Ramadhan memang bulan yang dijadikan oleh Allah sebagai munthalaq dakwah untuk kembali memaknai kehidupan dakwah kita, mengevaluasi dan mengefektifkan kembali sayap-sayap dakwah sehingga geliat dan bahana dakwah akan lebih terasa intensivitasnya pasca Ramadhan. Semoga makna-makna dakwah Ramadhan lebih banyak ditangkap oleh para aktivis dakwah di jalan Allah.
Sumber: dakwatuna.com