(Artikel ini dimuat di Harian Fajar Banten 13/02/2008)
Dalam publikasi hasil risetnya di beberapa media, Lembaga Riset Informasi (LRI) bertema Membangun Akuntabilitas Parpol dan Wakil Rakyat yang dipublikasikan di Jakarta menyatakan bahwa rakyat mulai apatis terhadap partai politik. Tentu kita tak perlu mendebat seberapa akurat hasil riset yang disampaikan lembaga tersebut. Paling tidak hasil riset itu semakin memperkuat opini yang berkembang dimasyarakat bahwa rakyat sudah mulai jengah dan apatis terhadap partai politik yang semakin menjauh dari rakyat dan tidak lagi membela kepentingan rakyat.
Bagi pegiat politik dan aktifis partai politik, fenomena apatisme rakyat ini mesti menjadi bahan introspeksi. Dalam konteks demokrasi dan sistim multipartai, apatisme adalah sebuah bencana dan kerugian politik. Dimana tingkat dukungan rakyat terhadap partai politik semakin mengecil sehingga partisipasi politik masyarakat menjadi rendah, dan hal ini akan berpengaruh terhadap legitimasi politik pemerintah.
Penyebab Apatisme
Fenomena apatisme ini barangkali merupakan sebuah keniscayaan politik dikarenakan ketidakmampuan partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai partai politik. Alih-alih menjadi penampung dan penyalur aspirasi rakyat, partai politik semakin menjauh dari rakyat dan semakin tidak membela kepentingan rakyat.
Kesimpulan semacam ini diamini oleh hampir seluruh masyarakat kita, bahwa partai politik hanya mementingkan kepentingan para elitnya. Ini ditandai dengan semakin ’sunyi’ nya pembelaan partai politik terhadap rakyat, dimana rakyat bertubi-tubi di bombardir oleh kebijakan-kebijakan yang semakin menambah derita rakyat. Tak ada pembelaan yang cukup heroik dari partai politik saat pemerintah menaikan harga BBM, kenaikan sejumlah kebutuhan pokok, kedelai, dan berbagai kebijakan yang semakin menambah beban rakyat lainnya.
Akhirnya, rakyat memberi kesimpulan. Partai politik tidak lagi menjadi saluran aspirasi bagi rakyat. Tapi partai politik hanya sibuk dan yang ramai terdengar adalah hiruk pikuk rebutan kursi, konflik internal partai, dan sekian kegiatan lainnya yang semakin menjauh dari persoalan-persoalan kerakyatan.
Harus diakui, apatisme rakyat dikarenakan hampir seluruh fungsi partai politik yang diemban tidak berjalan secara baik. Selama ini partai politik gagal mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Apatisme juga muncul dikarenakan rakyat juga merasa ditinggalkan oleh wakilnya diparlemen. Padahal janji saat kampanye adalah akan memperjuangkan nasib rakyat dan mensejahterakan rakyat. Hal ini pula sesuai dengan hasil survei TII (Transparency International Indonesia) yang menempatkan parlemen atau legislatif sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah berita yang mengagetkan. Berita tersebut lebih berperan menguatkan daripada mengagetkan. Sebab, performa lembaga perwakilan rakyat memang sudah tidak terlalu baik.
Ada disinformasi dan mispersepsi yang berkembang dimasyarakat tentang partai politik dan anggota legislatif. Masyarakat memandang bahwa partai politik dan anggota legislatif adalah orang yang memiliki dana dan mengelola dana pemerintah. Oleh karenanya, jika pengurus partai politik hendak bertemu dengan masyarakat , seolah-olah partai politik dan anggota legislatif memiliki kewajiban untuk membawa ’oleh-oleh’ untuk masyarakat.
Disinformasi dan mispersepsi ini muncul dikarenakan selama ini masyarakat tidak diberi pendidikan politik yang baik oleh kalangan partai politik. Pemanjaan pragmatisme yang dibangun oleh partai politik terhadap masyarakat akhirnya menjadi perilaku politik yang menyimpang. Sehingga terbangun sebuah image, bahwa partai politik yang peduli adalah partai politik yang memberi uang, membantu membangun jalan, membangun masjid, dan sebagainya.
Fungsi partai politik
Dari permasalahan apatisme tersebut. Partai politik harus menjalankan fungsinya dengan baik kedepan. Profesor Miriam Budiarjo paling tidak menyebut empat fungsi yang harus dilakukan oleh partai politik yaitu, sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi dan pendidikan politik, rekruitmen politik dan sebagai pengatur konflik.
Pertama, partai politik sebagai sarana komunikasi politik. Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Partai politik menjadi penampung pendapat dan aspirasi, kemudian dirumuskan menjadi program partai yang akan diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah untuk menjadi kebijaksanaan umum (public policy).
Dilain pihak, partai politik juga berfungsi untuk menyebarluaskan rencana – rencana dan program pemerintah . Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dari atas ke bawah dan dari bawah keatas, dimana partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara pemerintah dan rakyatnya. Dalam menjalankan fungsi ini, partai politik memainkan peran sebagai Broker Information (penyalur informasi).
Kedua, partai politik sebagai sarana sosialisasi politik dan pendidikan politik. Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap, dan dilakukan oleh bermacam-macam agens, seperti keluarga, saudara, teman bermain, sekolah (mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi), lingkungan pekerjaan, dan tentu saja media massa, seperti radio, TV, surat kabar, majalah, dan juga internet. Proses sosialisasi atau pendidikan politik Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan masyarakat madani (civil society). Yaitu suatu masyarakat yang mandiri, yang mampu mengisi ruang publik sehingga mampu membatasi kekuasaan negara yang berlebihan. Masyarakat madani merupakan gambaran tingkat partisipasi politik pada takaran yang maksimal.
Ketiga, partai politik sebagai sarana rekruitmen politik dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat, adalah bagaimana partai politik memiliki andil yang cukup besar dalam hal: (1) Menyiapkan kader-kader pimpinan politik; (2) Selanjutnya melakukan seleksi terhadap kader-kader yang dipersiapkan; serta (3) Perjuangan untuk penempatan kader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki kredibilitas yang tinggi, serta mendapat dukungan dari masyarakat pada jabatan jabatan politik yang bersifat strategis. Makin besar andil partai politik dalam memperjuangkan dan berhasil memanfaatkan posisi tawarnya untuk memenangkan perjuangan dalam ketiga hal tersebut; merupakan indikasi bahwa peran partai politik sebagai sarana rekrutmen politik berjalan secara efektif.
Rekrutmen politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat banyak untuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi setiap warga negara. Kesalahan dalam pemilihan kader yang duduk dalam jabatan strategis bisa menjauhkan arah perjuangan dari cita-rasa kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakat luas. Oleh karena itulah tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwa rekrutmen politik mengandung implikasi pada pembentukan cara berpikir, bertindak dan berperilaku setiap warga negara yang taat, patuh terhadap hak dan kewajiban, namun penuh dengan suasana demokrasi dan keterbukaan bertanggung jawab terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun bila dikaji secara sekilas sampai dengan saat inipun proses rekrutmen politik belum berjalan secara terbuka, transparan, dan demokratis yang berakibat pemilihan kader menjadi tidak obyektif. Proses penyiapan kader juga terkesan tidak sistematik dan tidak berkesinambungan.
Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan sesuatu yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha mengatasi dan menjadi problem solver atas masalah tersebut. Namun dalam praktiknya, fungsi pengatur konflik tersebut tidak berjalan dengan baik. Bahkan, partai politik saat ini lebih banyak menjadi sumber konflik.
Penutup
Ditengah kondisi partai politik saat ini yang masih belum menunjukan performa yang baik, optimisme harus tetap dibangun. Meskipun konfigurasi dan wajah partai politik sampai 2009 kedepan kemungkinan kecil untuk berubah. Namun apa salahnya kita memulai untuk membenahi diri, melakukan konsolidasi internal partai, menjadikan partai sebagai wadah yang lebih berdaya guna dan mulai melakukan restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik baik yang menyangkut struktur, mekanisme, budayanya, serta kapasitasnya dalam menjalankan fungsinya sebagai penampung dan penyalur aspirasi rakyat.
Jika perilaku partai politik dan anggota legislatif tak juga kunjung membaik. Maka, malapetaka dahsyat tidak akan kunjung surut menerpa negri kita. Kalau masyarakat tidak percaya lagi kepada partai politik dan anggota legislatif yang notabene adalah wakil rakyat. Mungkin kiamat partai politik bukan hal yang mustahil terjadi. Wallahu’alam
Penulis adalah Ketua Bidang Polhukam DPW PKS Banten / Anggota DPRD Provinsi Banten